Jumat, 18 November 2016

ACARA BAGI ALUMNI MAUPUN SISWA YANG PERNAH MENGENYAM KEHIDUPAN DI JB













Patung JB yang selalu menjadi kenangan bagi dan kebanggan siswa JB








Serdadu-serdadu Berzirah Hitam bernamakan Debritto Hooligans yang selalu mengedepankan nama Debritto di dalam hati dan juga jiwanya
JB MANIA YANG SELALU HADIR DI SETIAP PERTANDINGAN TIM JB






Macan Perak 161





Sekelompok penghibur dan penyemangat yang berpenampilan nyetrik dan menyuguhkan tontonan yang menarik di setiap event olahraga yang JB ikuti. Kepanjangannya Macan Pemnadu Sorak 161
Landasan Pendidikan Bebas di SMA Kolese de Britto

 


   Kalau SMA Kolese De Britto memberanikan diri memakai istilah pendidikan bebas, yang dimaksud bukanlah suatu pendidikan ke arah anarki: suatu sistem yang bebas dari peraturan yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Bukan pula suatu sistem yang merestui segala penyelewengen dari nilai-nilai yang kami cita-citakan, melainkan terutama adalah suatu sikap dalam usaha kami, para pendidik bersama peserta didik, untuk bersama-sama mencari pengarahan dalam tindak-tanduk, berlandas pada pengakuan bahwa karunia manusia yang paling asasi dan luhur adalah kebebasannya yang harus diprioritaskan dalam proses pembentukan kepribadian.
    Dalam kesadaran tersebut, para pengajar SMA Kolese De Britto sependapat bahwa mereka tidak hanya menyampaikan bahan pelajaran saja (mengajar), tetapi sekaligus mendidik. Artinya, menolong, membantu mencarikan pengarahan kepada anak didik supaya dapat memilih jalan hidup serta perbuatan sendiri, tanpa sebelumnya atau sesudahnya menutup rapat-rapat kemungkinan pemilihan lain. Kemampuan dan kesanggupan untuk menentukan pilihan pribadi bagi tindak-tanduknya dan jalan hidupnya sendiri dengan tanggung jawab pribadi, tidak lain dan tidak bukan adalah kebebasannya. Sikap yang harus mendasari pendidik dalam mendidik adalah menolong, bukan mengambil alih, mencarikan pengarahan (membimbing) pada anak didik. Anak didik adalah subjek, yaitu “sumber, pembawa, pemilik” aktivitas manusia yang dikaruniai kebebasan untuk “melihat” dan “memilih” secara manusia, yaitu secara bebas apa yang (dapat) memberikan arti kepada hidupnya sebagai manusia (hidup yang berperikemanusiaan).

    Pengarahan pemilikan itu tetap mengandaikan anak didik aktif-sadar akan kemampuannya, bebas untuk berpikir dan menilik yang baik atau yang tidak baik; yang ini atau yang itu, (mungkin) sama baiknya, bahkan yang sama buruknya. Keagungan manusia justru terletak pada kemungkinan untuk dapat memilih yang kurang baik, bahkan yang jahat sekali pun, tetapi akhirnya (mungkin dengan banyak pengorbanan), masih berani dengan bebas memilih yang baik. Memang ada risikonya (penyelewengan, ekses), tetapi risiko mengandung kemungkinan positif “pemanusiaan” yang mahadahsyat. Pemilihan itu tidak ditentukan oleh penilaian baik/tidak baik menurut pandangan sewenang-wenang (pemilih bebas) itu sendiri.

    Memilih secara manusia tidak berarti bahwa dia hidup sendiri tidak perlu peduli orang lain, atau sebaliknya dia bahkan hanyut tenggelam dalam dunia di mana perikemanusiaan sudah kabur. Secara manusiawi, manusia harus dapat memberikan pertanggungjawaban pada dirinya sendiri dan pada manusia lain (yang sama dasar kemanusiaannya) tentang apa yang dilakukannya. Jadi, sama sekali tidak berarti bahwa dia “bebas” untuk memberikan atau tidak memberikan pertanggungjawaban apa-apa. Sudah barang tentu tanggung jawab itu untuk setiap orang tidak sama. Ini jelas dan jelas pula bahwa manusia yang tidak memiliki kebebasan tidak mungkin dapat dimintai pertanggungjawaban. Juga jelas, kebebasan tidak berkembang secara untung-untungan sebagaimana juga tidak dengan sifat-sifat yang lain, misalnya kejujuran, ketekunan. Semuanya harus dilatih.

   Kebebasan juga mengalami perkembangan dan karenanya harus diberi kesempatan untuk berkembang. Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan kesanggupan/kemampuan asasi ini berarti mengajak mereka untuk secara bebas menjatuhkan sendiri pilihan pada nilai-nilai kemanusiaan serta berani memperjuangkannya (dedikasi).

    Sebagaimana pendidik tidak dapat dipisahkan dari perbuatan lain yang menjadi “wadah” pengartian mendidik, demikian pula “kebebasan” bukan suatu aktivitas sendiri, terpisah, tetapi “tersirat” dalam perbuatan lain: bebas dalam kejujuran atau jujur dengan bebas, bebas dalam perbuatan sosial atau berbuat sosial dengan bebas, dan seterusnya. Hanya dari manusia yang benar-benar dengan bebas (ikhlas) sadar akan perbuatannya dapat diharapkan dedikasi yang tidak kenal kompromi terhadap segala yang bertentangan dengan kemanusiaan. Hanya manusia bebas yang masih dapat dan berani melihat kemungkinan ke arah perbaikan (manusia), entah itu disebut modernisasi, pembangunan, dan  sebagainya.

    Dengan demikian, SMA Kolese De Britto tidak menolak adanya tanggung jawab, tidak menolak adanya pengarahan, tidak pula unsur bimbingan, tidak pula bahwa manusia harus dapat berdikari, tetapi yang hendak dinomorsatukan di atas semua itu adalah dimensi kebebasan yang membuat manusia mampu memilih arah hidupnya. Kami mengakui, pendidikan bebas mengandalkan penghayatan “kebebasan” pada para pendidik terlebih dahulu karena penyampaian nilai-nilai  kemanusiaan bukanlah suatu indoktrinasi atau suatu timbang-terima bahan pendidikan, tetapi suatu proses serah-terima penghayatan pribadi satu pada dan dari yang lain. Orang sukar berbicara secara meyakinkan apabila dia sendiri tidak menghayati apa yang akan disampaikan. Orang sukar menuntut cinta atau kejujuran kalau dia sendiri tidak mencintai atau jujur. Cinta dan kejujuran tidak dapat dipaksakan, tetapi harus bersemi dari kebebasan pribadi yang sejati.

    Sebagaimana cinta mengenal seni untuk membangkitkan tanggapan cinta, begitu pula “kebebasan yang dihayati” akan mampu menumbuhkan penghayatan kebebasan pada mereka yang ingin merdeka. Bebas, merdeka, tidak sebagai sesuatu yang berdiri lepas dari tindak-tanduk kehidupan sehari-hari, tetapi sebagai suatu tanda perikemanusiaan segenap tingkah laku serta perbuatan kita sehari-hari. Ini merupakan proses yang tidak terjadi secara untung-untungan (kemerdekaan harus diperjuangkan), tetapi menuntut dari para pendidik, orang tua, dan guru suatu kebulatan tekad serta keuletan usaha  untuk menjadikan nyata apa yang sebagai manusia kita rasakan dan terus kita perjuangkan: sekali merdeka tetap merdeka.

    Semoga uraian di atas dapat sekadar menolong memberikan gambaran tentang apa yang kami maksud dengan “sikap dasar pendidikan bebas di SMA Kolese De Britto”. Jika timbul pertanyaan tentang motivasi pendidikan bebas tersebut, kami menyebut tiga hal. Pertama, kesadaran-keyakinan  kami bahwa kebebasan adalah kesadaran diri manusia sebagai subjek, yaitu sebagai sumber, pemilik, dan pembawa hidup serta tingkah lakunya dan ini juga berlaku untuk anak didik. Kedua, kesadaran diri sebagai subjek yang telah ada harus dilatih, diisi, diberi kesempatan untuk berkembang—kalau memang ingin berkembang. Bandingkan: kemerdekaan yang kita capai pada 17 Agustus 1945 tidak kita biarkan saja, melainkan kita isi dan kita kembangkan, misalnya melalui pembangunan. Ketiga, melihat kenyataan dan fakta-fakta pahit di dalam masyarakat dewasa ini, adanya kesadaran diri sebagai subjek memang sangat dibutuhkan. Dalam masyarakat, kesadaran tersebut ada yang masih belum berkembang (terbelenggu).

    Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pendidikan bebas dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menjawabnya, kami perlu menjelaskan dengan lima hal:

Pertama, dari segi hakikat manusia: dapat, karena manusia pada hakikatnya bebas, yaitu dikaruniai kesanggupan atau kemampuan untuk memilih melaksanakan sesuatu yang baik atau memilih untuk tidak melaksanakannya. Tidak hanya “bebas dari” tetapi “bebas untuk”. Misalnya, bebas dari paksaan peraturan yang tidak adil, bebas untuk menaati peraturan, untuk memilih. 

Kedua, dari segi periode pendewasaan anak: dapat, bahkan sesuai dengan anak pada masa pubertas yang sedang mencari/membentuk/menemukan pribadinya, menjadi pribadi.
 
Ketiga, dari segi keselarasan antara pendidikan di sekolah, di dalam keluarga, dan di dalam masyarakat: keselarasan harus dilandasi/didasari hakikat manusia yang memanusia dan bermanusia, di dalam dan melalui sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pemanusiaan ini bersumber pada pengakuan dan kesadaran bahwa manusia adalah subjek, yaitu sumber, pemilik, pembawa hidupnya sendiri. Manusia harus setia pada pemanusiaannya dan inilah keselarasannya. Penyelewengan berarti pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Keselarasan bukan semata-mata penyesuaian atau kesamaan pada/dengan salah satu pihak manusia atau masyarakat umum yang tidak mampu atau tidak berani menilai (kembali kalau perlu) proses pemanusiaannya. Keselarasan didasari kesadaran akan pemanusiaan yang makin berarti dan proses ini terjadi dengan konflik (pertentangan) intern (batin) dan ekstern (dengan penjajah, misalnya).  Jadi, keselarasan tidak berarti tidak adanya konflik, baik intern maupun ekstern.
   
Keempat, dari segi tujuan pendidikan: dapat dipertanggungjawabkan sebab dengan menanamkan kesadaran diri pada anak didik, kami melandasi mereka dengan jiwa merdeka sebagai subjek yang menegara. Mengutip Ki Hadjar Dewantara, pendidikan jiwa merdeka merupakan suatu hal yang prinsipiil dalam pendidikan nasional. Kebebasan tidak hanya dibutuhkan pada zaman kolonial saja bahkan pada zaman merdeka pun masih sesuai.

Kelima, dari segi ekses-ekses yang diakibatkan. Ekses timbul dari hakikat manusia sendiri yang dianugerahi kebebasan manusiawi: dapat menentukan pilihan yang berbeda. Setiap manusia harus dihormati dalam kebebasan manusiawinya untuk memilih secara pribadi (beserta konsekuensinya tentu) dan kebebasan ini tidak pernah dirampas oleh kekuasaan apa pun juga. Akan tetapi, kami tidak mengatakan bahwa kami sudah merestui “pilihan (tingkah laku) yang berbeda” Kami mengatakan bahwa kami mengakui/menghormati/menghargai hak memilih. Jadi, kami tidak menyangkal adanya “pilihan tingkah laku yang berbeda”. Oleh karena itu, jika kami mengandaikan adanya pilihan yang “keliru” yang kita namakan “ekses” yang tampak, justru harus diberi kesempatan untuk menampakkan diri. Penampakan diri dalam bentuk ekses memberikan pertanda pada kita ada sesuatu yang tidak beres, entah di lingkungan sekolah maupun keluarga atau masyarakat. Dengan demikian, kita lebih mudah mencari jalan keluar untuk menolong orang yang membuat pilihan keliru. Ekses adalah “lampu merah yang positif”, yang mengungkapkan ketidakberesan. Oleh karena itu, tidak perlu dikhawatirkan, hanya perlu dipahami sebab justru segi inilah yang memberikan harapan dan melangsungkan kehidupan manusia dengan harapan dan gembira sebab ekses mengungkapkan jalan untuk perbaikan. Kami yakin, segi positif dalam pendidikan bebas, jauh lebih berlimpah daripada ekses-eksesnya. Sekadar kenyataan positif, SMA Kolese De Britto sama sekali tidak menyangsikan kemampuan siswanya untuk lebih berprestasi, baik dalam pelajaran maupun berorganisasi (bermasyarakat).

    Dengan motivasi dan pertanggungjawaban itulah kami memberanikan diri untuk memilih pendidikan bebas. Oleh karena itu, bagi SMA Kolese De Britto istilah pendidikan bebas bukanlah sekadar istilah, melainkan istilah yang paling kena untuk pengertian yang kami maksud. Meskipun demikian, kami menyadari pula kemungkinan persoalan yang muncul jika pengertian tentang pendidikan bebas yang kami maksud disalahartikan sebagai pendidikan liar, misalnya.

    Dalam pendidikan di SMA Kolese De Britto, dimensi kebebasan sungguh diprioritaskan. Menjadi demikian bukanlah sesuatu yang timbul begitu saja, tetapi merupakan suatu proses bertahun-tahun yang diilhami oleh pengamatan dan pengalaman terhadap gejala-gejala, kejadian-kejadian di dalam masyarakat, yang intinya sebagian besar berkisar pada  kebebasan manusiawi ini serta merupakan kesadaran/ panggilan profesi para pendidik SMA Kolese De Britto bahwa sekolah harus merupakan wadah dan sarana yang menuju ke “pemanusiaan” masyarakat. Panggilan profesi inilah yang memberikan kekuatan, harapan, kebahagiaan, dan kegembiraan pada kami, pendidik, melaksanakan tugas membantu “membentuk” warga negara yang mempunyai kesadaran menegara yang bebas merdeka.

Yogyakarta, 29 Mei 1976.
Makalah ini dibuat oleh J. Oei Tik Djoen, S.J., pater Jesuit, mantan rektor SMA Kolese De Britto, sebagai pertanggungjawaban beliau semasa menjadi rektor (tahun 1976) atas model pendidikan SMA Kolese De Britto yang digugat sebagian masyarakat.
Kelulusan di JB bukan dirayakan dengan mencoret-coret identitas kebanggan siswa JB yaitu seragamnya namun dirayakan dengan aktivitas tahunan tiap kelulusan


Salah satu eskul yang terkenal dan menjadi kebanggan SMA Kolese De Britto yaitu sepakbola yang juga sekaligus futsal..
PRESTASI JB III



Menjadi Juara DBL 2015...
Selamat
Ekstra Kurikuler  JB

Esktrakulikuler yang ada di JB, berikut lebih lengkapnya :


WINGCHUN

Tenis Meja

Paduan Suara

Seni Musik

Palang Merah Remaja

English Club

Dance

Desain Grafis

Jurnalistik

Sanggar Seni

Fotografi

Pecinta Alam

Film

Tenis Lapangan
 
Karawitan
Mulai tahun ajaran 2010-2011, ekstrakurikuler karawitan mulai dibuka bagi para siswa SMA Kolese De Britto sebagai salah satu usaha melestarikan warisan budaya bangsa.
Bulu Tangkis
  
Sepak Bola 
 
Tae Kwon Do
Para siswa SMA Kolese De Britto yang tergabung dalam ekstrakurikuler Tae Kwon Do berlatih 2 kali dalam seminggu setiap hari Selasa dan Rabu pukul 15.00-16.30.
Pencak Silat
 
Bola Voli
Teater

Flag Football

Sepakbola
Tim sepakbola SMA Kolese De Britto ketika mengikuti pertandingan futsal di Universitas Gadjah Mada.
Renang
Kegembiraan, semangat, dan kebersamaan selama menjalankan ekstrakurikuler renang.
Tenis Meja

Bola Basket
Ekstrakurikuler bola basket di SMA Kolese De Britto memiliki peminat yang paling tinggi dibandingkan jenis ekstrakurikuler lainnya.
Wing Chun

Jumat, 11 November 2016

PRESTASI JB II

De Britto Rebut Juara III Flag Football Tingkat Nasional

SMA Kolese De Britto kembali mengukir prestasi gemilang di Tingkat Nasional. Tim Flag Football JB yang dikenal dengan sebuatan De Britto Saints berhasil merebut juara III dalam Nasional High School Championship II "Battle of Reunion" yang diadakan 4-6 November 2016 lalu.

Kejuaraan Nasional Flag Football tersebut diselenggarakan oleh Indonesian Flag Football Association (IFFA) di Lapangan Kentungan, Yogyakarta. IFFA adalah asosiasi resmi yang menjadi wadah pecinta flag football terbesar di Indonesia. Asosiasi ini sejak tahun 2009 telah menyelenggarakan berbagai kegiatan flag football,  sebuah variasi yang lebih aman dari American Football.
PRESTASI JB

De Britto Raih Juara III Olimpiade Karawitan Tingkat Nasional

SMA Kolese De Britto kembali menorehkan prestasi gemilang di tingkat nasional. Tim karawitan SMA Kolese de Britto - Gongso Kukilo - berhasil meraih juara III dalam Olimpiade Pariwisata Tingkat Nasional ke 5 yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 5 November 2016 lalu.

Tak hanya itu, Jagad Mellian Tejo Ndaru, personil Gongso Kukilo yang juga siswa kelas XI Bahasa De Britto juga dinobatkan sebagai pembonang terbaik dalam kesempatan tersebut.

Olimpiade Pariwisata berskala nasional ini diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta diikuti oleh ratusan peserta dari seluruh penjuru tanah air. Universitas ternama di Indonesia tersebut mengadakan kegiatan ini untuk mengajak para peserta, yakni siswa-siswi SMA dan SMK seluruh Indonesia untuk terlibat aktif dalam meningkatkan kepariwisataan Indonesia

Jumat, 04 November 2016

Tertarik ke JB?

Ingin masuk JB? Bisa...
Lihat saja persyaratannya di www.debritto.sch.id
Suwun

Bagi Tuhan dan Bangsaku... !!!!
AMDG

VISI, MISI, dan NILAI-NILAI KOLESE DE BRITTO

Visi dan Misi

VISI

Pendidikan swasta katolik yesuit berkarakteristik unggul dalam mendidik siswa menjadi pemimpin pengabdi yang cakap, berhati nurani benar, dan berbela rasa.

MISI

1.  Menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang unggul, bermutu, dan selalu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
2.  Mengembangkan komunitas pendidikan yang memberikan perhatian khusus kepada pribadi-pribadi yang jujur, adil, utuh, optimal, disiplin, mandiri, kreatif, gigih, cerdas, dan seimbang.
3. Membentuk siswa yang memiliki integritas, bertanggung jawab, berbela rasa, berkeadilan, memperlakukan sesama penuh hormat, serta menghargai keberagaman.


NILAI-NILAI KOLESE DE BRITTO

1. KASIH

Nilai kristiani yang paling mendasar adalah kasih. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Menurut St. Ignasius, kasih itu harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dengan kata-kata (LR 230). Atas dasar kasih itulah, pendidikan Kolese De Britto membentuk siswa (membentuk diri) menjadi pemimpin pengabdi yang baik, berbela rasa, dan setia. (bdk Mazmur 37:3-4) dan pejuang kebenaran, keadilan, kejujuran.

2. KEBEBASAN

Pendidikan Kolese De Britto mengutamakan kebebasan yang merupakan perwujudan kongkret dari nilai kebebasan anak-anak Allah (Rom. 8:21). Siswa dididik menjadi pribadi yang bebas dari belenggu gengsi, sikap materialistis, dan kecenderungan mengikuti arus. Sebagai manusia yang bebas, siswa dididik sehingga mampu bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya, memperlakukan sesama penuh hormat, berempati terhadap orang miskin dan peduli terhadap permasalahan lingkungan hidup.

3. KEBERAGAMAN

Pendidikan Kolese De Britto dilaksanakan dalam suatu komunitas yang terdiri dari aneka ragam suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, menghargai keberagaman, peduli terhadap persoalan radikalisme agama. Ditegaskan oleh Pater Jenderal Nicolas Adolfo, S.J., bahwa  pendidikan kita bukan kompetitor untuk sekolah unggulan, tetapi kita dapat melihat perbedaan dalam realitas dan dirinya sendiri.

Sejarah JB

SMA yang lebih dikenal dengan nama De Britto atau “JB” (kependekan dari Johanes De Britto) ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Bermula dari suatu kebutuhan mendesak waktu itu. Sesaat setelah pemerintah pendudukan Jepang mencabut peraturan yang melarang pihak swasta mendirikan sekolah, para Bruder CCI bersama suster-suster Carolus Borromeus dan Fransiskanes mendirikan sebuah sekolah menengah katolik, setingkat SMP. Untuk menampung lulusan SMP itulah dirasa mendesak adanya sebuah sekolah menengah atas yang bersendikan asas-asas katolik. Atas persetujuan bersama Yayasan Kanisius di bawah pemimpin Romo Djojoseputro dengan para romo Jesuit dan para suster Carolus Borromeus didirikanlah Sekolah Menengah Atas Kanisius, yang dibuka secara resmi pada tanggal 19 Agustus 1948. Murid angkatan pertama adalah campuran putra-putri berjumlah 65 orang. Waktu itu tempatnya menumpang di ruang atas SMP Bruderan Kidul Loji. Tidak lama setelah diresmikan, jabatan pemimpin sekolah yang semula (untuk sementara) dipegang Romo B. Sumarno, S.J. diserahkan kepada Romo R. van Thiel, S.J. Karena situasi sosial politik yang ada, sekolah yang baru berlangsung lima bulan itu akhirnya bersama-sama sekolah lain ditutup karena clash kedua tentara Belanda pada tanggal 18 Desember 1948.

Setelah keadaan tenang, persiapan untuk mulai mengadakan kegiatan sekolah segera dilaksanakan. Bagian putri sudah bisa memulai kegiatan sekolah lagi pada bulan Agustus 1949, sedangkan bagian putra baru dapat dibuka pada bulan Oktober 1949, mengingat banyak pemuda yang baru pulang dari medan perang. Ketika sekolah dibuka kembali, bagian putra dan putri mulai dipisahkan. Bagian putra yang kemudian menempati gedung di Jalan Bintaran Kulon 5 ini diasuh oleh para romo Jesuit, dan memakai nama SMA Santo Johanes De Britto. Bagian putri di bawah asuhan para suster Carolus Borromeus, menempati gedung di Jalan Sumbing 1 (sekarang Jalan Sabirin). Mereka memakai nama SMA Stella Duce yang berarti Bintang Penuntun.

Sampai saat itu SMA Johanes De Britto belum mempunyai lambang. Oleh karena itu, pada tahun 1951 sekolah mengadakan lomba mencipta desain lambang SMA Johanes De Britto dan yang berhasil menjadi pemenang adalah R. Nawawi Hadikusumo, siswa SMA Johanes De Britto tahun 1949 – 1951.

Pada tanggal 9 Juni 1953, oleh Pembesar Serikat Jesus di Roma, nama SMA Santo Johanes De Britto diubah menjadi SMA Kolese De Britto. Perkembangan senantiasa terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Tidak hanya pergantian pengurus dan staf pemimpin, tetapi juga perkembangan yang menyangkut jumlah murid, ruang kelas, pembenahan administrasi, termasuk perpindahan gedung sekolah. Pilihan lokasi jatuh di daerah Demangan. Peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan gedung baru dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. yang waktu itu menjabat Vikaris Apostolik Semarang. Pada bulan Mei 1958 SMA Kolese De Britto dipindahkan ke Demangan. Sekolah menempati kompleks gedung yang luas dan dilengkapi dengan lapangan olah raga, aula, ruang-ruang laboratorium, dan lain-lain. Lokasi sekolah inilah yang kemudian lebih dikenal dengan alamat Jalan Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta. Karena pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang orang berkewarganegaraan asing mengajar di sekolah dasar dan menengah, pada permulaan tahun ajaran baru, 1 Agustus 1960, Romo P.F.C. Teeuwisse, S.J. yang masih WNA diganti oleh direktur baru, Romo Th. Koendjono, S.J. Dua tahun kemudian tepatnya 1 Agustus 1962 kepengurusan SMA Stella Duce yang semula masih disatukan dengan SMA Kolese De Britto, resmi diserahkan kepada Yayasan Tarakanita, sedangkan SMA Kolese De Britto tetap diasuh oleh Yayasan De Britto yang secara ex officio diketuai oleh romo Jesuit sebagai rektor kolese.

Semenjak awal perkembangannya SMA Kolese De Britto sebagai suatu kolese, lembaga pendidikan yang dikelola Jesuit senantiasa mengalami keterbatasan / kekurangan tenaga Jesuit. Salah satu jasa Romo Schoonhoff, S.J. sebagai rektor kolese (mulai tahun 1956) adalah kegigihannya mempertahankan SMA Kolese De Britto ketika hendak ditutup sebagai kolese dan kemudian akan diserahkan kepada awam. Alasan penyerahan kepada awam adalah karena pada waktu itu tidak tersedia cukup tenaga Jesuit untuk diserahi tugas di SMA. Salah satu argumen yang diajukan Romo Schoonhoff, S.J. kepada Pater Jenderal (pemimpin Jesuit tertinggi) di Roma adalah bahwa dari SMA Kolese De Britto ini setiap tahun ada beberapa eks alumnusnya yang mendaftar ke seminari. Di samping itu, ada fakta yang tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa dari kolese ini sudah banyak dihasilkan imam baik Jesuit maupun Projo atau tarekat lain. Selain Romo G. Schoonhoff, S.J. Bapak L. Subiyat juga merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam memperjuangkan kelangsungan SMA Kolese De Britto sebagai sebuah kolese.

Ketika Romo Th. Koendjono, S.J. menjadi direktur / kepala sekolah (1962-1964) diangkatlah kedisiplinan menjadi tuntutan kerja dan sikap hidup sehari-hari, tidak hanya untuk siswa, tetapi juga semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di kolese. Kerja sama dengan awam sedikit demi sedikit dikembangkan. Kerja sama itu tidak hanya dalam arti berhubungan baik supaya awam mau bekerja lebih tekun, tetapi semakin menempatkan awam sebagai partner yang setara dalam pengelolaan sekolah. Sayangnya Romo Th. Koendjono, S.J. tidak lama bertugas karena mendapat tugas baru dari Pemimpin Serikat Jesus. Tahun 1964 Romo Th. Koendjono, S.J. sebagai direktur diganti oleh seorang awam, yaitu Bapak C. Kasiyo Dibyoputranto. Serikat Jesus semakin menyadari pentingnya kerja sama yang sederajat dengan awam. Sejak itu hingga sekarang, jabatan direktur / kepala sekolah selalu dipegang oleh awam. Ciri kolese di mana ada Jesuit di dalamnya dipertahankan dalam jabatan rektor (yang sekaligus menjadi ketua yayasan) dan jabatan pamong.

Ketika jabatan rektor dipegang oleh Romo J. Oei Tik Djoen, S.J. pada tahun 1973, di SMA Kolese De Britto dicanangkan pendidikan bebas. Konsep pendidikan bebas ini merupakan jawaban terhadap keadaan masyarakat yang kurang bisa menerima pendapat yang berbeda dari pendapat umum, khususnya sekitar tahun 1960-1970. Masyarakat lebih mementingkan penampilan luar daripada motivasi dari dalam. Para pendidik di SMA Kolese De Britto merasa bahwa para siswa harus berpendapat sendiri. Keberhasilan pendidikan bebas itu tidak bisa dilepaskan dari peran empat serangkai, yaitu Romo J. Oei Tik Djoen, S.J., Romo G. Koelman, S.J., Bapak C. Kasiyo Dibyoputranto, dan Bapak L. Subiyat. Empat serangkai itu pada tahun 1971 diperkuat oleh Bapak Chr.Kristanto yang diangkat menjadi wakil kepala sekolah dan Bapak G. Sukadi yang banyak berperan dalam kegiatan siswa.

Pada tahun 1984 kepemimpinan di SMA Kolese De Britto dilaksanakan secara kolegial antara rektor, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan pamong. Romo rektor merupakan pemimpin dan penangggung jawab karya, sebagai instansi banding tertinggi. Kepala sekolah merupakan pemimpin dan penanggung jawab jalannya sekolah. Romo pamong menjadi penanggung jawab pembinaan siswa. Akan tetapi, mulai tahun ajaran 1987-1988 dibuat rumusan-rumusan tugas secara jelas dan dipisahkan secara tegas urusan sekolah dengan urusan (komunitas) pastoran. Mulai tahun 1993 direksi dikembangkan dengan satu jabatan baru, yakni wakil kepala sekolah urusan administrasi dan keuangan. Dengan demikian, mulai saat itu kepala sekolah dibantu oleh tiga wakil kepala sekolah yang mengurus akademik, administrasi dan keuangan, dan kesiswaan / pamong.

Tahun 2004-2005 SMA Kolese De Britto mulai menerapkan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan setahun kemudian berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Mulai tahun itu SMA Kolese De Britto menambah satu kelas X dari enam kelas menjadi tujuh kelas dan pada tahun 2005-2006 dibuka kembali jurusan bahasa (setelah sepuluh tahun tidak membuka jurusan Bahasa), melengkapi dua jurusan yang sudah ada, yaitu IPA dan IPS.

Pada awal tahun ajaran 2007-2008, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah c.q. Direktorat Pembinaan SMA melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, menetapkan SMA Kolese De Britto sebagai Rintisan SMA Bertaraf Internasional. Sekolah Bertaraf Internasional adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, dana, pengelolaan, dan penilaian; serta diperkaya dengan standar salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya.

Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan program RSBI, pada tahun 2013 SMA Kolese De Britto juga tidak lagi menjadi sekolah RSBI. Bersama dengan perayaan 64 tahun (Tumbuk Ageng) SMA Kolese De Britto mengadakan bedah lembaga dengan bantuan Bussiness Model Canvas (BMC) dan membuahkan inspirasi untuk menyusun RIP (Rencana Induk Pengembangan) sekaligus merancang program pengembangan setelah Master Plan sekolah berakhir. Sebagai bentuk nyata, pada tahun ajaran 2013-2014, pengurus yayasan bersama dengan staf direksi menyusun rencana strategis (renstra) lima tahun ke depan dan pada tahun ajaran ini difokuskan pada peningkatan kesehatan organisasi yang mencakup revitalisasi budaya kolese, penataan manajemen sekolah, penataan kurikulum sekolah, penataan keuangan dan pengelolaan sarana prasarana.

Perkenalan...

Nama gua Rainlado Alva Millenium Parairaway (cowok tulen)
Gua lahir di Manokwari, 17 Januari 2000
Umur gua 16, dan sekarang gua siswa kelas XI di SMA Kolese De Britto tepatnya kelas XI IPA 5
Kalo mau mengenal lebih jauh tentang JB, cekidoottt...